Polobogo adalah nama sebuah Desa di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Pada Zaman dahulu terdapat sebuah pohon yang sangat besar berada di tengah-tengah Desa, pohon itu bernama pohon Polo. Menurut warga sekitar nama Polobogo berasal dari dua kata yaitu Polo-Bogo.Kata Polo berasal dari sebuah Pohon Polo.Kalau kata Bogo berasal dari nama sebuah kyai yang meninggal bernama Ki Bogo.Kyai tersebut dimakamkan disebuah tempat dan tempat tersebut diberi nama Makam Bogo. Warga sekitar sering menyebutnya Bogo. Dari kata tersebut kemudian warga menamakan Desa Polobogo. Desa Polobogo terdiri dari 7 RT, Desa Polobogo memiliki berbagai kesenian dan adat istiadat yang unik yang hanya bisa ditemukan di Desa Polobogo. Salah satunya adalah kesenian Reog yang sampai sekarang ini masih ada di Desa Polobogo.Adat istiadatnya Nyadran Kembang Kuning yang dilakukan setiap tanggal tertentu tepatnya dihari senin pahing bulan rajab.Warga Desa Polobogo mengadakan nyadran atau sedekah bumi yang dilakukan setiap satu tahun sekali dan dilakukan di sebuah Makam yang bernama Kembang Kuning. Nyadran tersebut diperingati warga setempat untuk memperingati haul Kyai dan Nyai Soreng yang konon merupakan cikal bakal Desa Polobogo. Kedua tokoh penyebar agama Islam itu dimakamkan di pemakaman Kembang Kuning Polobogo. Sebelumnya, warga Desa Polobogo berbondong-bondong membawa puluhan tenong, tempat makan dari bambu berbentuk tabung pipih, berisi aneka penganan. Kudapan yang dimakan bersama itu antara lain jadah, wajik, aneka roti dan buah pisang. Setelah warga berdoa bersama untuk kesejahteraan desa yang dipimpin tetua desa, aneka penganan itu dimakan bersama di areal seputaran makam.
Kepala Desa Polobogo, Jati Pramono, warga membawa makanan dan tumpeng itu sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Tradisi ini telah berlangsung turun temurun dan kali ini merupakan kegiatan ke 414 atau lebih dari empat abad. sebulan, diadakan lilma kali sadranan di makam leluhur Polobogo ditempat yang berbeda. Leluhur masyarakat Polobogo berasal dari keturunan Keraton Surakarta Hadiningrat. Ketika itu, tahun 1598, terjadi perselisihan yang mengakibatkan beberapa keturunan raja Surakarta Hadiningrat mengungsi ke luar daerah. Sebut saja Ki Bogo WIndusoma yang dianggap sebagai cikal bakal utama Dusun Polobogo dan Ki Kenti Wiropati serta Ki Hadi Negoro dan Ki Hadi Wijoyo. Makam Ki Hadi Wijoyo ini terletak di tengah dusun yang sekaligus menjadi paku dusun. Para tokoh lainnya dimakamkan ditempat yang berbeda. Sehingga warga menyelenggarakan sadranan di makam para tokoh itu secara bergiliran sebanyak empat kali dalam sebulan. Tradisi membawa penganan dan makanan ke makam para tokoh itu konon berasal dari pesan para leluhur itu. Yakni jika nanti mereka telah meninggal dan anak keturunannya berkunjung dan akan membersihkan makamnya, maka warga diminta menyediakan makanan dan minuman untuk para pengunjung.
bersumber dari mana ya artikelnya
BalasHapus